Cari Blog Ini

Sabtu, 04 Maret 2017

Ghirah dan Muru'ah Beragama

       Sudah menjadi adat antar bangsa, jika ada pelarian politik (minta suaka politik) kepada suatu Negara, maka Negara itu tidak boleh menyerahkannya kepada Negara yang menuntutnya. Sebab, pelarian politik tidak indentik dengan orang jahat seperti koruptor.

       Beberapa tokoh politik di Negara-negara Jiran, meminta suaka kepada kerajaan Saudi saat itu. Menurut undang-undang antar bangsa, orang yang minta suaka politik tidak boleh diserahkan. Tetapi, bagi Ibnu Saud, ada yang lebih tinggi dari peraturan produk manusia. Yaitu undang-undang yang inhern dengan fitrah manusia, ghirah dan muru’ah dalam beragama. Arti sebenarnya ghirah adalah cemburu. Namun kini, maknanya telah melebar menjadi semangat untuk mempertahankan benteng pertahanan kehormatan atau izzah umat Islam.

       Bagi bangsa Arab, betapa hinanya kalau muru’ah (harga diri) dilanggar. Namanya akan jatuh, karena memperoleh sanksi social (hukum tidak tertulis) dari komunitas Arab. Seorang yang meminta keselamatan, akan dilindungi sekalipun harus mengorbankan nyawa.

       Dalam sejarah Irak, pernah tercatat kisah Perdana Mentri Al Kailani, yang dikenal tokoh pro Jerman. Semasa ia menjadi Perdana Mentri, Kailani telah memploklamirkan perang kepada Inggris. Padahal bantuan Jeman yang diharapkannya tidak kunjung datang. Kesudahannya, Inggris menghancurkan Irak dibawah kepemimpinannya. Bandara Habbaniyah diduduki. Al Kailani kalah dan melarikan diri.

       Secara rahasia, dia datang ke Riyadh dan meminta suaka pada Ibnu Saud. Saud tidak menolak. Bagi Saud, menolak orang yang meminta jaminan adalah kehinaan. Sekalipun berkali-kali utusan Irak datang ke Riyadh untuk mendesak agar Al Kailani diserahkan.

       Kasus serupa pernah terjadi juga di Suriah. Rezim Adib Syisyakli yang tidak di dukung rakyat berakhir dengan kemenangan politiknya, Hasyim Al Attasi. Adib Syisyakli terpaksa melarikan diri sebelum 12 peluru ditubuhnya dikeluarkan. Dia meminta perlindungan kepada Riyadh. Setelah Ibnu Saud mangkat, digantikan oleh puteranya, Saud, ia tetap teguh memegang tradisi ghirah yang lebih kuat pengaruhnya dari masa ke masa.

       Sultan Pasya Atrasi, seorang pemimpin Suriah yang terkenal sebagai panglima lascar pembela Islam yang merberontak kekuasaan Perancis pada tahun 1925. Awalnya, dia setia kepada pemerintah penjajah. Dia tidak bisa berbuat banyak ketika Perancis menduduki tanah airnya. Tetapi pada tahun 1925 ia mengambil sikap sebagai pemimpin pemberontak.

       Idham Khan Jar, seorang pemimpin yang ekstrim dikejar-kejar penjajah Perancis. Pada saat pelarian, sampailah dia di Jabal Druzz, kediaman Sultan Atrasy untuk meminta perlindungan. Sayangnya, Sultan tidak dirumah. Hanya ada para khadam (pembantu) dan keluarganya. Tapi tentara Perancis tetap mengepung dan menangkap. Esoknya, Sultan sangat marah mendengar kisah penghinaan harga diri itu. Baginya, sungguh malu seorang tamu ditangkap dirumah tuan rumahnya.
       Sultan akhirnya mengirim surat permohonan kepada Perancis supaya tawanan itu dikembalikan. Sayangnya, suratnya hanya dibalas ejekan. Sultan akhirnya menulis surat selebaran kepada seluruh pengikutnya. Baginya, rasa malu menyerahkan tamu kepada penjajah tidak bisa ditebus kecuali dengan nyawa.

       Ia menulis surat selebaran dengan pepatah Arab “An Naaru Al’ Aaru” (api mesiu lebih baik daripada menanggung malu). Maka barang siapa diantara para pengikut Sultan yang masih memahami arti hidup, ghirah, muru’ah, malu, silakan bergabung bersama, memberontak penjajah Perancis. Yang takut mati, tidak memiliki rasa cemburu (dayus), silakan hidup terus berselimutkan kehinaan. Kehinaan identik dengan Kematian, sekalipun secara fisik terlihat gagah. Dalam hitungan menit, berkumpullah beratas-ratus pahlawan lengkap dengan senjata.

       Pemberontakan hebat akhirnya terjadi terhadap Perancis. Itulah pemberontakan paling seru dalam sejarah bangsa Arab stelah perang dunia I. Perancis mempertontonkan keganasan dan kekejaman tiada tara terhadap penduduk. Kota Damaskus sendiri di hujani dengan bom.

       Karena kekuatan tak seimbang, Sultan akhirnya kalah. Namun baginya, kekalahan tidak menjadi masalah dibanding rasa malu dan kehormatan. Setelah tidak ada perlawanan lagi, Sultan akhirnya mengundurkan diri ke padang pasir. Sampai tahun 1936, keluar pengampunan missal dari Perancis. Saat itu pula pemimpin-pemimpin yang dalam pengasingan muncul kembali di bumi Suriah.

        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar