“Wahai orang yg beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut jejak-jejak setan;
sesungguhnya dia (setan) bagi kamu adalah musuh yang nyata” (Al-Baqarah
[2]:208).
Terkait dengan
ayat di atas, bahwa yang dimaksud dengan silmi
di situ adalah: menyerah diri secara tulus ikhlas. Lalu di susul dengan
kalimat kaaffatan, yang berarti dia
sebagai seruan kepada sekalian orang yang telah mengaku beriman kepada Allah supaya
mereka berislam jangan masuk separo-separo, atau sebagian-sebagian, tapi
masuklah kepada Islam keseluruhannya.
Ibnu Abbas radhiallahu
anhu (RA) menafsirkan ayat ini mengenai orang-orang ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah beriman dan berkata
kepada Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam
(SAW): “Ya Rasulullan, hari sabtu adalah hari yang sangat kami muliakan,
biarkanlah kami tetap memuliakan hari
itu. Dan kitab Taurat pun kitab Allah juga, sebab itu biarkanlah kami kalau
malam-malam tetap sembahyang secara Taurat”
Maka turunlah
ayat ini mengatakan kalau masuk Islam, hendaklah memasuki keseluruhannya,
jangan separo-separo. Maka tafsir ayat ini, bahwasannya kita telah mengaku
beriman, dan telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al-Qur’an
dan tuntunan Nabi SAW diakui dan diikuti.
Semuanya diakui kebenarannya dangan mutlak. Meskipun misalnya belum dikerjakan
semuanya, tapi sekali-kali jangan dibantah.
Sebagai manusia
(hamba Allah) janganlah mengakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari
peraturan Islam. Oleh karena itu, hendaknya kita melatih diri, agar sampai kita
meninggal dunia, hendaklah kita telah menjadi orang Islam yang 100 persen,
seperti firman Allah dalam surat Ali Imran [3] ayat 102 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati, melainkan
kalian dalam keadaan Muslim.”
Fathi Yakan,
dalam bukunya Sifat dan Sikap Seorang Muslim (terjemahan Jamaludin Kafie) halaman 43 mengatakan
bahwa di dunia ini ada tiga kelompok manusia:
Pertama, kelompok manusia yang hidupnya
hanya untuk dunia. Mereka ini adalah golongan materialis, oleh al-Qur’an
disebut Ad Dahriyun. Mereka berkata bahwa
hidup adalah kehidupan di atas dunia ini saja, tidak akan dibangkitkan lagi. Dunia
merupakan tujuan dan cita-citanya paling utama, klimaks hidupnya tenggelam
dalam kelezatan dunia tanpa perhitungan.
Kedua, kelompok yang kehilangan dua
pegangan. Mereka adalah mayoritas orang-orang yang akidahnya lemah. Jalan hidupnya
penuh goncangan karena mereka tersesat dalam kehidupan dunianya. Akan tetapi dia
masih berprasangka bahwa dirinya telah berbuat dan berada pada jalan yang benar.
Secara teori,
mereka percaya akan adanya Allah dan hari kiamat, tetapi jauh terpisah dengan
praktik dalam kehidupan nyata sehari-hari. Mereka menambal dunia dengan
mencabik-cabik agamanya. Itulah orang yang kehilangan dua arah tujuan hidup. Semoga
kita terhindar dari kelompok tersebut.
Ketiga, kelompok yang menjadikan dunia
sebagai ladang akhiratnya. Mereka inilah orang –orang Mukmin, yang mengerti
benar tentang hakikat hidup ini. Mereka senantiasa ingat akan tujuan hidupnya
di dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
“Dan Aku tidak menciptakan
Jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariat [51]:
56).
Orang-orang Mukmin
menganggap kehidupan dunia ini sebagai medan ujian, sebagai lapangan cobaan
untuk berlomba mengerjakan amal kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Dunia adalah
sebagai sawah untuk bertanam yang hasilnya akan di petik kelak di hadapan
Allah. Maka seluruh hidup mereka ditujukan untuk jalan kesana.
Dari uraian di
atas, dapat di pahami bahwa kita wajib berikhtiar agar Islam dalam keseluruhannya
berlaku pada masing-masing pribadi kita. Masyarakat kita, dan lalu pada Negara
kita.
Selama hayat di
kandung badan, kita harus berjuang terus agar Islam secara keseluruhannya tegak
dalam kehidupan kita. Mungkin kita bertanya, mungkinkah ? Berapa banyakkah di
zaman ini orang yang dapat menjadikan
dirinya Islam 100 persen?
Andaikan belum
ada, itu bukanlah menunjukan bahwa ajaran Islam boleh kita pegang setengah-setengah.
Kita selalu di wajibkan berusaha untuk mencapai puncak kesempurnaan hidup
menurut tuntunan Islam hingga kita meninggal dalam keadaan khusnul khatimah.
Namun, masih ada
di antara kita yang mengaku Islam, tetapi menolak cita-cita Islam untuk memperbaiki
masyarakat yang di atur oleh syariat Islam. Begitu juga pada perilaku kita
sehari-hari. Padahal, sejak kita lahir lalu di azankan dan di iqamat. Diberi
nama dan di-aqiqah-kan. Menikah menurut Islam dan bahkan jika meninggal nanti
akan diselenggarakan pengurusan jenazah menurut ajaran Islam, Insya Allah.
Tapi disisi lain,
apakah kehidupan kita sehari-hari sudah mencerminkan perilaku yang Islami?
Pakaian yang Islami, hiasan rumah yang
Islami, dan aspek-aspek kehidupan lain yang juga Islami?
Dari Abu Said
RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda , “Barang siapa mengucapkan: “Radhiitu
billahi rabba wa bil islaami diina wa bi muhammadin nabiyah wa rasuula (Aku ridha Allah sebagai Rabbku dan
Islam sebagai agamaku, Muhammad adalah Nabi dan rasulku)”, wajib baginya Jannah.” (Riwayat Muslim).
Ketika kita
berikrar mengakui dan merhidai Allah sebagai Rabb, maka berarti kita siap diatur oleh-Nya dalam kerangka dienul
Islam, dengan kitab induknya al-Qur’an al-Karim. Kepahitan yang nampak dalam
larangan-Nya, akan berbuah kelezatan dan kenikmatan yang akan kita dapat baik
di dunia maupun kelak di akhirat. Begitupun rasa Ridha kita bahwa Muhammad SAW
adalah Nabi dan Rasul-Nya berarti kita siap untuk di tuntun dan di arahkan dalam
petunjuk Sunnah yang telah digariskan
oleh R asulullah SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar