Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara
syubhat (yang masih samar), termasuk
pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang dimaksud adalah meninggalkan
perkara mubah yang berlebihan.
Contoh: Seseorang
meninggalkan kebiasaan mendengarkan dan memainkan musik karena dia tahu bahwa
bermusik atau mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal dan ada yang
mengatakan haram.
Abu Bakar
Ash-Shiddieq meneladani kewaraan atau kesahajaan Rasulullah. Dikisahkan oleh Aisyah,
ayahnya itu mempunyai seorang hamba atau pelayan yang mengurus kharaj, yakni
sesuatu yang ditetapkan oleh tuan yang harus dibayarkan oleh pelayannya sedangkan
dirinya juga memperoleh bagian. Kala itu Abu Bakar datang menemui pelayan yaitu
dan memakan makanan yang dimilki sahayan yaitu.
Sahaya itu berkata, “Tahukah tuan makanan itu dari mana?”. Kata sayaha itu, dulu dirinya pernah menjadi kahin (dukun) dan makanan tadi diberikan oleh orang yang pernah ia berikan layanan perdukunan. Bukan kahin sesungguhnya, sekedars iasat mencari untung. Abu Bakar kaget, kemudian memasukan jari tangan ke mulutnya hingga muntah. Makanan yang baru saja dimakan dimuntahkan kembali. Sahabat Nabi yang dikenal sebagai hartawan, dermawan, dan lembut hati itu tidak ingin perutnya kemasukan barang yang tidak jelas,
Nasihat
Nabi kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu
Hurairah, jadilah orang yang wara’ maka engkau akan menjadi sebaik-baikmya ahli
ibadah. Jadilah orang yang qona’ah maka engkau akan menjadi orang yang benar-benar
bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau suka jika ia ada
pada dirimu, maka engkau akan menjadi Mukmin yang baik. Berbuat baiklah kepada
tetanggamu, maka engkau akan menjadi Muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa
karena banyak tertawa itu dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu M ajah)
Wara’ mengandung
pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat dan meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak jelas
apakah hal tersebut halal atau haram.
"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang
haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa
yang menjaga adab risyubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa
yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram" (HR
Bukhari & Muslim)
Suatu kali
Rasulullah menemukan kurma di jalanan. Rasulullah mengambilnya, tetapi tidak memakannya.
Lalu Rasulullah bersabda:
“Seandainyaa aku tidak khawatir bahwa kurma ini berasal dari sedekah, tentu aku sudah memakannya.”(HR Bukhari- Muslim). Rasulullah memberikan uswah hasanah tentang sikap wara’, yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat atau mubah, yaitu barang yang samar-samar dan meragukan. Perkara subhat atau mubah harus di jauhi, lebih-lebih yang haram.
“Seandainyaa aku tidak khawatir bahwa kurma ini berasal dari sedekah, tentu aku sudah memakannya.”(HR Bukhari- Muslim). Rasulullah memberikan uswah hasanah tentang sikap wara’, yakni menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat atau mubah, yaitu barang yang samar-samar dan meragukan. Perkara subhat atau mubah harus di jauhi, lebih-lebih yang haram.
Sahaya itu berkata, “Tahukah tuan makanan itu dari mana?”. Kata sayaha itu, dulu dirinya pernah menjadi kahin (dukun) dan makanan tadi diberikan oleh orang yang pernah ia berikan layanan perdukunan. Bukan kahin sesungguhnya, sekedars iasat mencari untung. Abu Bakar kaget, kemudian memasukan jari tangan ke mulutnya hingga muntah. Makanan yang baru saja dimakan dimuntahkan kembali. Sahabat Nabi yang dikenal sebagai hartawan, dermawan, dan lembut hati itu tidak ingin perutnya kemasukan barang yang tidak jelas,
Pelajaran
penting dari Nabi akhir jaman dan Abu Bakar itu ialah sikap hati-hati dan menjauhi
segala barang, uang, dana papun yang meragukan atau subhat. Orang kini menyebutnya
sesuatu yang abu-abu. Uang hasil korupsi dan tindak pidana pencucian uang atau
yang tidak halal dibagi-bagikan, yang kelihatan bersih tetapi sesungguhnya subhat
hingga haram. Uang mahar atau transaksi politik sumbangan apa pun yang tidak jelas
dari mana asalnya termasuk ranah subhat atau mungkin haram. Hal-hal subhat itu sebaiknya
di hindari, bukan didekati. Apalagi yang haram.
Namun
di dunia politik dan bisnis sering barang-barang subhat
itu berseliweran dan seolah halal. Maka tidak jarang muncul kedermawanan model
baru. Politisi dan pebisnis dengan mudah membagi-bagikan uang dalam jumlah
besar-besaran, tanpa tahu dan memberi tahu dari mana asalnya. Umat atau rakyat
pun senang menerimanya. Lalu, mekarlah kebiasaan politik uang, mahar politik,
suap, dan segala transaksi subhat hingga haram.
Sikap
wara’ mengajarkan agar mengambil
sikap hati-hati dan menjauhi yang segala sesuatu yang bersifat subhat.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya halal itu jelas dan haram itu jelas,
dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang mutasyabihat (samar-samar) yang
tidak diketahui orang banyak, maka barang siapa yang menjauhi yang subhat
berarti dia telah membersihkan agama dan nama baiknya. Barang siapa terjatuh
dalam subhat maka dia jatuh dalam haram…” (HR
Bukhari- Muslim dari An-Nu’man Ibn Basyir).
Kini
semua berpulang pada diri masing-masing. Bertanyalah secara jernih pada kalbu yang
paling dalam. Jika memiliki uang atau kekayaan dalam jumlah besar-besaran, dari
manakah diperoleh? Nabi mengajarkan demikian pada umatnya. Patokannya halal dan
baik, serta tidak subhat dan haram. Hanya hati bersih yang tidak terampuri hawa
nafsu yang mampu mengukurnya. Orang lain dapat diyakinkan akan kehalalan dan
kebaikan harta yang sesungguhnya subhat dan haram. Diri sendiri sungguh tidak
dapat dibohongi. ● A. Nuha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar