Perjalanan rumah
tangga tak selamanya mulus-mulus saja. Ada kalanya angin bertiup kencang. Sebagai
manusia kita tentu ingin selalu hidup dalam kebahagiaan dan kedamaian. Manusia berencana
tapi takdir berbicara lain. Tak jarang badai datang mengguncang rumah tangga
yang dengan susah payah kita bangun.
Berbagai upaya kita
coba untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam keluarga. Namun terkadang
bertambah keras upaya yang kita lakukan justru permasalahannya bertambah
runyam. Perekonomian rumah bertambah parah, anak yang tadinya masih bisa di
nasihati malah bertambah sulit dikendalikan. Keadaan ini terkadang membuat
emosi tidak stabil. Sehingga dari berbagai macam permasalahan yang melanda, tak
sedikit yang menyebabkan keretakan dalam rumah tangga. Bahkan sampai memisahkan
keduanya.
Perceraian suatu
kata yang mudah diucapkan tapi sangat pahit dirasakan. Bukan hanya suami istri
yang menderita, tapi korban yang sesungguhnya adalah anak-anak. Tidak menutup
kemungkinan anak-anak ini banyak mengalami berbagai macam masalah. Baik masalah
sosial, perilaku, bahkan kepribadian.
Karena dampak dari
perceraian yang besar ini, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala (SWT) menyebutkan perbuatan halal yang dibenci Allah adalah
perceraian. Bukan berarti perceraian haram dilakukan, karena dalam kasus
tertentu justru perceraian adalah jalan yang harus ditempuh untuk kebaikan
keluarga tersebut. Meskipun harus mengorbankan anak-anak, tetapi demi
menghindari mudharat yang jauh
lebih besar lagi maka jalan perceraian terpaksa ditempuh.
Kisah ‘Aisyah
Badai
pun pernah mengguncang rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (SAW). Sepulang dari menyertai Nabi
dalam perang melawan Bani Musthaliq, ‘Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah SAW
dan pasukan kaum Muslimin karena sesuatu hal. Esok paginya, ‘Aisyah pulang
dengan di kawal oleh pemuda bernama Shafwan bin al-Mu’aththal yang tertinggal
dibelakang pasukan.
Rasulullah
sempat galau tentang berita ini, apalagi wahyu belum juga turun. Maka beliau meminta
pendapat dari sahabatnya, Ali bin Abi Thalib dan ‘Usamah bin Zaid tentang ‘Aisyah.
‘Usamah berpendapat, “Ya Rasulullah, ia keluargaku dan aku hanya mengetahui
bahwa ia adalah orang baik-baik.
Sedangkan
Ali berpendapat, “Allah tak akan menyempitkanmu, dan wanita selain ia masih
banyak. Tetapi jika anda bertanya kepada wanita (Barirah), niscaya dia akan
memberikan yang benar kepada anda.” Rasulullah SAW memanggil Barirah lalu
bertanya, “Apakah engkau melihat sesuatu yang meragukan dari ‘Aisyah?” Barirah
menjawab, “Demi tuhan yang telah mengutusmu dengan haq, aku tak tahu tentang
dia lebih dari pada bahwa dia adalah seorang wanita muda belia yang tertidur
ketika menjaga adonan keluarganya, lalu binatang-binatang ternak memakannya.”
Akhirnya
Allah membersihkan nama baik ‘Aisyah. Dengan menurunkan Firman-Nya dalam Surat
An-Nur [24] ayat 11-22 sehingga
kesucian ‘Aisyah dengan kehormatan keluarga Nabi terselamatkan dan stabilitas
Madinah puli seperti sedia kala.
Dari
kisah ini kita bisa mengambil contoh bagi mana seharusnya menghadapi suatu
permasalahan dalam rumah tangga. Ketika fitnah
menimpa ‘Aisyah dan sempat mengguncang rumah tangga Rasulullah SAW, sikap yang
dilakukan Rasulullah SAW adalah, pertama,
tetap tenang dan tidak terpancing emosinya.
Betapa
banyak orang yang mudah terpancing
emosinya, sehingga kehilangan akal sehatnya bila mendengar kabar yang negatif dari
pasangannya. Bahkan, ada yang ringan tangan memukul sehingga terjadi kekerasan
dalam rumah tangga.
Kedua, ber-tabayyun (cek dan ricek) mencari tahu akan kebenaran berita yang
tersebar, bisa dari orang-orang terdekat sebagaimana Rasulullah SAW menanyakan pada
sahabatnya Usamah bin Ali. Atau menanyakan langsung, sebagaimana Rasulullah SAW
menanyakan pada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, sampai padaku berita tentang dirimu,
jika memang engkau bersih dari berita bohong itu, Allah pasti membersihkanmu,
tetapi jika engkau merasa berdosa, maka mohonlah ampun dan bertaubatlah,
niscaya Allah menerima taubatnya.”
Dan
‘Aisyah menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau
mendengar berita ini hingga mempengaruhi dirimu dan hamper membenarkannya. Jika
aku katakan aku bersih dan Allah
mengetahui bahwa diriku memang bersih dari tuduhan itu, niscaya engkau tidak
akan mempercayaiku; dan jika aku mengakuinya, sedangkan Allah mengetahui bahwa
diriku bersih, niscaya engkau mempercayainya. Demi Allah sesungguhnya aku; juga
engkau tidak menemukan anutan dalam hal ini selain seperti apa yang dikatakan
oleh ayah Yusuf:… Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah
sajalah yang dimohon pertolongan-Nya.” (Yusuf {12}: 18).
Dengan
ber-tabayyun kita bisa menghindarkan
diri dari prasangka. Betapa banyak orang menderita karena prasangka, karena
prasangkalah berita bohong bisa tersebar. “Janganlah kamu berburuk sangka,
karena berburuk sangka itu ialah sedusta-dusta percakapan.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Ketiga, melibatkan orang ketiga yang
dipercaya bisa menyelesaikan masalah.
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, maka kirimkan seorang hakim (juru damai) dari keluarga
laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi Taufik kepada suami-istri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa’ [4]: 35)
Dengan
didatangkan hakim dari pihak suami istri, diharapkan bisa dengan baik
menyelesaikan permasalahannya di antara keduanya. Bukankah pria yang
bersengketa biasanya didominasi oleh emosi sehingga pernyataan ataupun langkah
yang ditempuh tergantung keadaan perasaan. Bila sedang marah, maka ia akan
mengambil langkah yang merugikan pasangannya.
Dengan
memahami tujuan dibangunnya sebuah rumah tangga yaitu melaksanakan perintah
Allah dan Rasul-Nya. Sehingga bila di tengah jalan pernikahan ada hal-hal yang
tidak menyenangkan atau ada badai yang menerpa, ada baiknya penyelesaiannya
kita kembalikan pada aturan-Nya.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan di jadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar mendapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum [30]: 21)