Cari Blog Ini

Minggu, 12 Maret 2017

Cobaan Dalam Rumah Tangga

     Perjalanan rumah tangga tak selamanya mulus-mulus saja. Ada kalanya angin bertiup kencang. Sebagai manusia kita tentu ingin selalu hidup dalam kebahagiaan dan kedamaian. Manusia berencana tapi takdir berbicara lain. Tak jarang badai datang mengguncang rumah tangga yang dengan susah payah kita bangun.

     Berbagai upaya kita coba untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam keluarga. Namun terkadang bertambah keras upaya yang kita lakukan justru permasalahannya bertambah runyam. Perekonomian rumah bertambah parah, anak yang tadinya masih bisa di nasihati malah bertambah sulit dikendalikan. Keadaan ini terkadang membuat emosi tidak stabil. Sehingga dari berbagai macam permasalahan yang melanda, tak sedikit yang menyebabkan keretakan dalam rumah tangga. Bahkan sampai memisahkan keduanya.

     Perceraian suatu kata yang mudah diucapkan tapi sangat pahit dirasakan. Bukan hanya suami istri yang menderita, tapi korban yang sesungguhnya adalah anak-anak. Tidak menutup kemungkinan anak-anak ini banyak mengalami berbagai macam masalah. Baik masalah sosial, perilaku, bahkan kepribadian.

     Karena dampak dari perceraian yang besar ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) menyebutkan perbuatan halal yang dibenci Allah adalah perceraian. Bukan berarti perceraian haram dilakukan, karena dalam kasus tertentu justru perceraian adalah jalan yang harus ditempuh untuk kebaikan keluarga tersebut. Meskipun harus mengorbankan anak-anak, tetapi demi menghindari mudharat yang jauh lebih besar lagi maka jalan perceraian terpaksa ditempuh.

Kisah ‘Aisyah
      Badai pun pernah mengguncang rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (SAW). Sepulang dari menyertai Nabi dalam perang melawan Bani Musthaliq, ‘Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah SAW dan pasukan kaum Muslimin karena sesuatu hal. Esok paginya, ‘Aisyah pulang dengan di kawal oleh pemuda bernama Shafwan bin al-Mu’aththal yang tertinggal dibelakang pasukan.

      Rasulullah sempat galau tentang berita ini, apalagi wahyu belum juga turun. Maka beliau meminta pendapat dari sahabatnya, Ali bin Abi Thalib dan ‘Usamah bin Zaid tentang ‘Aisyah. ‘Usamah berpendapat, “Ya Rasulullah, ia keluargaku dan aku hanya mengetahui bahwa ia adalah orang baik-baik.

      Sedangkan Ali berpendapat, “Allah tak akan menyempitkanmu, dan wanita selain ia masih banyak. Tetapi jika anda bertanya kepada wanita (Barirah), niscaya dia akan memberikan yang benar kepada anda.” Rasulullah SAW memanggil Barirah lalu bertanya, “Apakah engkau melihat sesuatu yang meragukan dari ‘Aisyah?” Barirah menjawab, “Demi tuhan yang telah mengutusmu dengan haq, aku tak tahu tentang dia lebih dari pada bahwa dia adalah seorang wanita muda belia yang tertidur ketika menjaga adonan keluarganya, lalu binatang-binatang ternak memakannya.”

      Akhirnya Allah membersihkan nama baik ‘Aisyah. Dengan menurunkan Firman-Nya dalam Surat An-Nur [24] ayat 11-22  sehingga kesucian ‘Aisyah dengan kehormatan keluarga Nabi terselamatkan dan stabilitas Madinah puli seperti sedia kala.

      Dari kisah ini kita bisa mengambil contoh bagi mana seharusnya menghadapi suatu permasalahan  dalam rumah tangga. Ketika fitnah menimpa ‘Aisyah dan sempat mengguncang rumah tangga Rasulullah SAW, sikap yang dilakukan Rasulullah SAW adalah, pertama, tetap tenang dan tidak terpancing emosinya.

      Betapa banyak orang  yang mudah terpancing emosinya, sehingga kehilangan akal sehatnya bila mendengar kabar yang negatif dari pasangannya. Bahkan, ada yang ringan tangan memukul sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

      Kedua, ber-tabayyun (cek dan ricek) mencari tahu akan kebenaran berita yang tersebar, bisa dari orang-orang terdekat sebagaimana Rasulullah SAW menanyakan pada sahabatnya Usamah bin Ali. Atau menanyakan langsung, sebagaimana Rasulullah SAW menanyakan pada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, sampai padaku berita tentang dirimu, jika memang engkau bersih dari berita bohong itu, Allah pasti membersihkanmu, tetapi jika engkau merasa berdosa, maka mohonlah ampun dan bertaubatlah, niscaya Allah menerima taubatnya.”

      Dan ‘Aisyah menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau mendengar berita ini hingga mempengaruhi dirimu dan hamper membenarkannya. Jika aku katakan aku bersih  dan Allah mengetahui bahwa diriku memang bersih dari tuduhan itu, niscaya engkau tidak akan mempercayaiku; dan jika aku mengakuinya, sedangkan Allah mengetahui bahwa diriku bersih, niscaya engkau mempercayainya. Demi Allah sesungguhnya aku; juga engkau tidak menemukan anutan dalam hal ini selain seperti apa yang dikatakan oleh ayah Yusuf:… Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya.” (Yusuf {12}: 18).

      Dengan ber-tabayyun kita bisa menghindarkan diri dari prasangka. Betapa banyak orang menderita karena prasangka, karena prasangkalah berita bohong bisa tersebar. “Janganlah kamu berburuk sangka, karena berburuk sangka itu ialah sedusta-dusta percakapan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

      Ketiga, melibatkan orang ketiga yang dipercaya bisa menyelesaikan masalah.
      “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkan seorang hakim (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi Taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa’ [4]: 35)

      Dengan didatangkan hakim dari pihak suami istri, diharapkan bisa dengan baik menyelesaikan permasalahannya di antara keduanya. Bukankah pria yang bersengketa biasanya didominasi oleh emosi sehingga pernyataan ataupun langkah yang ditempuh tergantung keadaan perasaan. Bila sedang marah, maka ia akan mengambil langkah yang merugikan pasangannya.

      Dengan memahami tujuan dibangunnya sebuah rumah tangga yaitu melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sehingga bila di tengah jalan pernikahan ada hal-hal yang tidak menyenangkan atau ada badai yang menerpa, ada baiknya penyelesaiannya kita kembalikan pada aturan-Nya.

      “Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan di jadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar mendapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum [30]: 21)

Berislam Secara Kaffah

“Wahai orang yg beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut jejak-jejak setan; sesungguhnya dia (setan) bagi kamu adalah musuh yang nyata” (Al-Baqarah [2]:208).

Terkait dengan ayat di atas, bahwa yang dimaksud dengan silmi di situ adalah: menyerah diri secara tulus ikhlas. Lalu di susul dengan kalimat kaaffatan, yang berarti dia sebagai seruan kepada sekalian orang yang telah mengaku beriman kepada Allah supaya mereka berislam jangan masuk separo-separo, atau sebagian-sebagian, tapi masuklah kepada Islam keseluruhannya.


Ibnu Abbas radhiallahu anhu (RA) menafsirkan ayat ini mengenai orang-orang ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah beriman dan berkata kepada Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam (SAW): “Ya Rasulullan, hari sabtu adalah hari yang sangat kami muliakan, biarkanlah kami tetap memuliakan hari  itu. Dan kitab Taurat pun kitab Allah juga, sebab itu biarkanlah kami kalau malam-malam tetap sembahyang secara Taurat”

Maka turunlah ayat ini mengatakan kalau masuk Islam, hendaklah memasuki keseluruhannya, jangan separo-separo. Maka tafsir ayat ini, bahwasannya kita telah mengaku beriman, dan telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al-Qur’an dan tuntunan Nabi SAW  diakui dan diikuti. Semuanya diakui kebenarannya dangan mutlak. Meskipun misalnya belum dikerjakan semuanya, tapi sekali-kali jangan dibantah.

Sebagai manusia (hamba Allah) janganlah mengakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam. Oleh karena itu, hendaknya kita melatih diri, agar sampai kita meninggal dunia, hendaklah kita telah menjadi orang Islam yang 100 persen, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran [3] ayat 102 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati, melainkan kalian dalam keadaan Muslim.”

Fathi Yakan, dalam bukunya Sifat dan Sikap Seorang Muslim (terjemahan Jamaludin Kafie) halaman 43 mengatakan bahwa di dunia ini ada tiga kelompok manusia:

Pertama, kelompok manusia yang hidupnya hanya untuk dunia. Mereka ini adalah golongan materialis, oleh al-Qur’an disebut Ad Dahriyun. Mereka berkata bahwa hidup adalah kehidupan di atas dunia ini saja, tidak akan dibangkitkan lagi. Dunia merupakan tujuan dan cita-citanya paling utama, klimaks hidupnya tenggelam dalam kelezatan dunia tanpa perhitungan.

Kedua, kelompok yang kehilangan dua pegangan. Mereka adalah mayoritas orang-orang yang akidahnya lemah. Jalan hidupnya penuh goncangan karena mereka tersesat dalam kehidupan dunianya. Akan tetapi dia masih berprasangka bahwa dirinya telah berbuat  dan berada pada jalan yang benar.

Secara teori, mereka percaya akan adanya Allah dan hari kiamat, tetapi jauh terpisah dengan praktik dalam kehidupan nyata sehari-hari. Mereka menambal dunia dengan mencabik-cabik agamanya. Itulah orang yang kehilangan dua arah tujuan hidup. Semoga kita terhindar dari kelompok tersebut.
Ketiga, kelompok yang menjadikan dunia sebagai ladang akhiratnya. Mereka inilah orang –orang Mukmin, yang mengerti benar tentang hakikat hidup ini. Mereka senantiasa ingat akan tujuan hidupnya di dunia. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

“Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariat [51]: 56).

Orang-orang Mukmin menganggap kehidupan dunia ini sebagai medan ujian, sebagai lapangan cobaan untuk berlomba mengerjakan amal kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Dunia adalah sebagai sawah untuk bertanam yang hasilnya akan di petik kelak di hadapan Allah. Maka seluruh hidup mereka ditujukan untuk jalan kesana.

Dari uraian di atas, dapat di pahami bahwa kita wajib berikhtiar agar Islam dalam keseluruhannya berlaku pada masing-masing pribadi kita. Masyarakat kita, dan lalu pada Negara kita.

Selama hayat di kandung badan, kita harus berjuang terus agar Islam secara keseluruhannya tegak dalam kehidupan kita. Mungkin kita bertanya, mungkinkah ? Berapa banyakkah di zaman ini  orang yang dapat menjadikan dirinya Islam 100 persen?

Andaikan belum ada, itu bukanlah menunjukan bahwa ajaran Islam boleh kita pegang setengah-setengah. Kita selalu di wajibkan berusaha untuk mencapai puncak kesempurnaan hidup menurut tuntunan Islam hingga kita meninggal dalam keadaan khusnul khatimah.

Namun, masih ada di antara kita yang mengaku Islam, tetapi menolak cita-cita Islam untuk memperbaiki masyarakat yang di atur oleh syariat Islam. Begitu juga pada perilaku kita sehari-hari. Padahal, sejak kita lahir lalu di azankan dan di iqamat. Diberi nama dan di-aqiqah-kan. Menikah menurut Islam dan bahkan jika meninggal nanti akan diselenggarakan pengurusan jenazah menurut ajaran Islam, Insya Allah.

Tapi disisi lain, apakah kehidupan kita sehari-hari sudah mencerminkan perilaku yang Islami? Pakaian yang Islami, hiasan rumah yang  Islami, dan aspek-aspek kehidupan lain yang juga Islami?
Dari Abu Said RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda , “Barang siapa mengucapkan: “Radhiitu billahi rabba wa bil islaami diina wa bi muhammadin nabiyah wa rasuula  (Aku ridha Allah sebagai Rabbku dan Islam sebagai agamaku, Muhammad adalah Nabi dan rasulku)”, wajib baginya Jannah.” (Riwayat Muslim).


Ketika kita berikrar mengakui dan merhidai Allah sebagai Rabb, maka berarti kita siap diatur oleh-Nya dalam kerangka dienul Islam, dengan kitab induknya al-Qur’an al-Karim. Kepahitan yang nampak dalam larangan-Nya, akan berbuah kelezatan dan kenikmatan yang akan kita dapat baik di dunia maupun kelak di akhirat. Begitupun rasa Ridha kita bahwa Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul-Nya berarti kita siap untuk di tuntun dan di arahkan dalam petunjuk Sunnah yang telah digariskan oleh R   asulullah SAW.



Rabu, 08 Maret 2017

Jilbab Dalam Syariat Islam Dan Kacamata Barat

       Islam jelas memuliakan kamu perempuan. Islam diharamkan pembunuhan terhadap anak perempuan (wa’d al-banat) atas alasan membawa kehinaan. Islam mengurangkan beban kaum wanita dengan membagikan tugas dan peranan dalam rumah tangga. Memberikan hak mendapatkan pendidikan sama seperti lelaki. Memberikan persamaan dalam pahala dan ganjaran walaupun beban tugas masing-masing berbeda.

       Itulah kesetaraan gender dalam Islam. Setara bukan berarti penyamarataan dalam segala bidang seperti yang di pahami oleh kaum feminis. Islam mementingkan keadilan. Keadilan adalah tonggak utama dalam ajaran Islam. Untuk bersikap adil, kita perlu meletakan sesuatu pada tempatnya.

       Jika diperhatikan, bukan tempat perempuan menjadi imam, menjadi khalifah dan menjadi kepala tentara. Bukan tugas perempuan menjadi kepala rumah tangga. Semua ini tidak diberikan kepada kaum perempuan karena ia tidak sesuai dengan fitrah kaum hawa.

       Modernitas hari ini telah meletakan perempuan menjadi bahan tarikan kaum lelaki melalui iklan-iklan yang mendedahkan aurat. Dan ini berarti kehinaan dan bukan kemuliaan. Karena ia menjadi alat pelaris komoditas yang akan menguntungkan kaum kapitalis,

       Sebagian kaum liberal, seperti Fatimah Mernissi, akan selalu mencoba membongkar titik kelemahan Islam dalam hal kesetaraan gender. Mereka mengatakan, jika kaum lelaki yang bermasalah dengan nafsunya, kenapa kaum perempuan yang harus menanggung beban masalah tersebut. Di sini jelas, wujud nuansa kepentingan diri dan keakuan dalam wacana feminism: “Its your problem, not mine” (itu urusan anda, bukan urusan kami).

       Sedangkan dalam Islam, yang ditekankan adalah kebersamaan. Semetinya, ada kesadaran dari kaum wanita sendiri untuk melindungi diri sendiri, mempunyai sifat iffah, kesucian diri, menjaga kehormatan diri dan memiliki integritas yang tinggi. Sudah tentu semua pihak perlu memainkan peranan masing-masing barulah hasil yang didambakan bisa direalisasikan. Kerjasama ini tampak diharapkan dalam ayat jilbab (An-Nur [24]: 30-31].

       “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat’. Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya , dan memelihara kemaluannya, dan jangalah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, dan saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang tidak mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamusekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

       Tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa jilbab sebenarnya adalah adat dan bukan suruhan agama. Dr. Nasarudin Umar yang menyambung tesis Nurcholis Madjid misalnya, mengatakan bahwa jilbab telah dikenal masyarakat sebelum Islam. Kalaupun ia memang wujud sebelum Islam, itu tidak berarti Islam meniru mereka dan ia bukan sebagian dari syariat Islam. Sebagian syariat, seperti qisas dan haji, memang asal-usulnya dari tradisi agama lain tetapi Islam telah menyempurnakannya, memperbarui dan menegaskannya kembali.

Antara Syariat dan Kebudayaan
       Menciptakan segala sesuatu yang baru seutuhnya adalah sama sekali tidak perlu. Ini satu tuntutan yang tidak wajar terhadap Islam. Jika yang sudah ada itu baik, maka tidak salah untuk di kekalkan dan dilanjutkan. Walaupun demikian jilbab tetap merupakan syariat Islam. Karena ada sandaran hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

       Jilbab adalah perintah agama yang telah diterima oleh masyarakat Arab sejak jaman berjaman. Ia telah membudaya dan menjadi sebagian dari identitas masyarakat Arab. Ia dilakukan, dan perlu senantiasa dilakukan, atas dasar kesadaran mengikuti perintah Allah dan bukan ikut-ikutan.

       Berlainan dengan jubah untuk lelaki dan jas untuk masyarakat Barat. Jubah dan jas (coat) adalah adat dan kebiasaan sebuah masyarakat karena tidak ada perintah agama (nash) mengenainya dan tidak dihitung sebagai ibadah.

       Yang jelas, kita tidak wajib menerima modernitas yang disuguhkan oleh Barat. Jika kaum liberal ingi menerima modeinitas itu hak mereka, tetapi jangan memaksakannya terhadap umat Islam. Karena ini berarti mereka ingin memaksakan kehendak mereka terhadap orang lain. Alhamdulillah, umat Islam masih memiliki kesadaran beragama yang kuat. Sehingga tidak mudah meninggalkan anjuran agama, khususnya dalam hal ini adalah berjilbab atau berkerudung.

       Sangat dikhawatirkan, suara-suara protes terhadap jilbab ini adalah sebagian dari program memasarkan pemikiran, cara hidup dan budaya Barat. Cukuplah hegemoni Barat terhadap umat Islam uang hari ini banyak merugikan umat Islam. Nilai-nilai modern Barat, seperti kebebasan dan pergaulan bebas, tidak perlu di paksakan dan di pasarkan oleh orang-orang Islam sendiri. Umat Islam memiliki nilai-nilai Islam yang sebenarnya cukup untuk memajukan dan mengangkat martabat manusia. Pada kenyataannilai-nilai Islam (Islamic values) dibiarkan terkubur dan tidak mendapat tempat di hati masyarakat hari ini.

       Umat Islam menginginkan kebebasan dan kemerdekaan dalam beragama, bernegara dan bermasyarakat. Mereka tidak ingin diganggu dan digugat hak mereka dalam melaksanakan suruhan agama. Baik gangguan itu datang dari Barat maupun melalui ormas-ormas yang berlebelkan Islam. Mereka sadar mempunyai  tanggungjawab amar makruf nahi munkar. Mereka orang-orang yang masih kuat berpegang kepada ajaran agama dan selayaknya mereka di hormati sedemikian.


       Kaum liberal seharusnya membiarkan umat Islam bebas melaksanakan syariat Islam secara baik. Itupun jika mereka istiqomah dengan ide-ide dan pandangan liberal dan kebebasan yang sering mereka dengungkan. Bukankah ide kebebasan yang mereka kampanyekan juga memberikan kebebasan orang lain untuk meyakini keyakinan untuk berjilbab?



Tanda-Tanda Lemah Iman

          Marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan menjaga iman dan meningkatkannya. Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Juga bisa kuat dan bisa lemah, ketika iman kita lemah, maka kita dalam bahaya,  karena penyakit ini adalah sumber segala musibah,  dan penyebab segala bencana.
          Berikut ini akan kami paparkan tanda-tanda lemah iman agar kita bisa intropeksi/ mawas diri. Semoga Allah menguatkan iman kita. Amin

          Tanda-tanda penyakit lemah iman antara lain:



1.       Tergelincir dalam perbuatan maksiat dan hal-hal yang diharamkan
          Sering melakukan maksiat akan menyebabkan perbuatan tersebut menjadi kebiasaan. Sehingga kejelekan maksiat itu lambat laun akan hilang dari hati seseorang, sehingga maksiat dianggap biasa-biasa saja, bahkan akhirnya ia akan melakukannya dengan terang-terangan. Inilah yang disinyalir oleh baginda Rasul dalam sabdanya:          
“Setiap umatku akan dimaafkan kecuali orang (yang melakukan maksiat) secara terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan (maksiat) pada malam hari, dimana Allah telah merahasiakan perbuatannya itu kemudian di pagi hari ia berkata, ”Wahai fulan, tadi malam aku melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal Allah telah merahasiakannya, kemudian di pagi hari ia menceritakan apa yang telah dirahasiakan Allah itu.” (HR. Bukhari)
2.       Malas dan melalaikan ketaatan
          Kalau ia melaksanakannya, maka ia melaksanakan dengan malas dan terpaksa. Allah menceritakan orang-orang munafik:
  “… dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)
          Termasuk bentuk kelalaian pula jika seseorang tidak merasa rugi atau tidak mempedulikan berlalunya kesempatan untuk melakukan kebaikan. Mungkin ia menunda-nunda pelaksanaan haji, padahal ia mampu. Atau tidak ikut shalat jamaah atau ia selalu terlambat mengikuti shalat jamaah dan shalat Jum’at, dsb.
          Rasulullah bersabda:
          “Tidaklah suatu kaum yang senantiasa terlambat (meninggalkan) shaf pertama kecuali Allah akan meninggalkannya di dalam neraka.” (HR. Abu Dawud (679))
3.       Hatinya tidak tergugah oleh ayat-ayat al-Qur’an
          Di antara tanda lemah iman ialah hatinya tidak terpengaruh oleh aya-ayat yang berbicara tentang janji dan 1 Riya ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat. 2 Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sesekali saja, yaitu bila mereka berada di hadapan orang. ancaman, perintah dan larangan, atau bahkan ayat-ayat tentang kiamat atau siksa neraka. Orang lemah iman bosan mendengarkan al-Qur’an. Sementara orang mukmin akan bertambah imannya kalau dibacakan al-Qur’an di sisinya. Allah berfirman:
          “Sesungguhnya orang-orang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemeterlah hati mereka, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2)
4.       Lalai dalam mengingat Allah
          Salah satu tanda lemah iman adalah lalai dan lupa dalam berdzikir (mengingat Allah) dan berdoa kepada-Nya. Allah menceritakan tentang orang-orang munafik:
“… dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)
5.       Tidak marah ketika hukum-hukum Allah dilanggar
          Begitu banyak hukum-hukum Allah yang dilanggar bahkan dilecehkan dan ditentang oleh manusia hari ini dengan berbagai macam bentuknya, apalagi oleh kaum “liberaralisme”. Ketika itu tampak didepan mata kita kemudian hati kita tidak terusik sama sekali, maka berhati-hatilah karena ini adalah pertanda iman kita lemah, atau bahkan tidak ada lagi. Na’udzui billah
-      Ini terjadi karena api cemburu (ghirah) dalam hatinya telah padam.
-      Ia tidak dapat beramar ma’ruf nahi mungkar
-      Wajahnya tidak menunjukan kemarahan demi Allah dan Rasul-Nya
-      Ia hanya marah kalau pribadi atau golongannya yang diusik.
          Hati yang lemah ini dilukuiskan oleh Rasulullah dalam hadits shahih:
          “Fitnah itu akan dipampangkan pada hati-hati manusia, sedikit demi sedikit, bagaikan tikar (yang dianyam) helai demi helai, dan hati siapapun yang dirasuki oleh fitnah itu maka ia akan meninggalkan satu titik hitam. Dan hati mana saja yang mengingkarinya maka akan ditulis satu noktah putih, hingga menjadi dua hati; hati putih (yang kokoh dan licin) seperti batu halus tidak tertempeli fitnah maka tidak ada fitnah yang membahayakannya selagi ada langit dan bumi. Dan yang lain hitam (kelam) bagaikan bejana yang terbalik, tidak lagi mengenal yang ma’ruf (baik) dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali apa yang sesuai dengan nafsunya.” (HR Muslim, 325)

6.       Memiliki sifat bakhil (kikir)
          Salah satu tanda lemah iman adalah memiliki sifat bakhil (kikir). Karena itu Allah memuji kaum ansar yang tidak kikir, dengan firmannya:
          “… dan mereka (kaum Ansar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sekalipun mereka dalam kesusahan, dan siapa yang dipelihara dari kekikirian dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)

          Rasulullah bersabda:
          “Tiadalah berkumpul sifat kikir dan iman itu dalam hati seorang muslim” (HR Ahmad. 9553)

7.       Tidak memperhatikan urusan kaum mukminin
          Perasaannya dingin terhadap apa yang menimpa saudaranya,muslim lain, di tempat lain atau Negara lain(di Palestina, misalnya). Seperti adanya serangan musuh dari luar, pembantaian penyiksaan, terjadi bencana, musibah dll. Yang dia pikirkan hanya keselamatan dirinya sendiri. Sifat ini adalah akibat iman yang lemah.

          Berbeda dengan orang mukmin. Rasululllah bersabda:
          “Sesungghnya orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan, sebagaimana menguatkan yang lain” beliau merautkan jari  jemarinya” (HR Bukhari: 475)
          “Perumpamaan kaum mukminin dalam hal kecintaan mereka, kasih sayangnya dan perasaan (solidaritas) mereka itu seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka anggota tubuh lainnya ikut merasakan, tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim, 6538)
          “Sesungguhnya kedudukan seorang mukmin terhadap orang yang beriman adalah seperti kedudukan kepala terhadap tubuh. Orang mukmin akan merasakan sakit (penderitaan) untuk orang-orang mukmin lainnya. Sebagaimana tubuh juga merasakan apa yang dirasakan oleh kepala.” (HR. Ahmad, 2297; dan Thabrani   dari Sahl ibn Sa’d as-saidi, dikuatkan (dihasankan) oleh Mahir Yasin Fahl dalam tahqiq Jami’ul Ulum Wal-Hikam)

          Jadi, orang mukmin itu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh mukmin lainnya, meskipun ditempat yang berbeda.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

          Demikianlah tujuh  tanda-tanda lemah iman dari 22 tanda yang dikumpulkan oleh yang mulia Syekh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam bukunya: Lemah Iman: Tanda-tanda, Penyebab dan Solusi.
          Semoga kita bisa intropeksi untuk tidak sampai pada titik nol dari iman kita. Karena itu, hendaknya kita memperbanyak istighfar dan bertaqarrub kepada Allah, serta membangun iman kita diatas landasan ilmu yang benar. Semoga Allah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita. amin



Selasa, 07 Maret 2017

Delapan Kitab Penjelasan Shahih Al Bukhari


          Sumber hukum kedua dalam Islam adalah Hadits, ucapan maupun perbuatan Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam (SAW). Banyak ulama yang meriwayatkan Hadits-Hadits Rasulullah. Sebut saja Imam Bukhari.
          Untuk mencerrna maksud ribuan Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari itu, beberapa ulama membuat penjelasan (syarh) dalam kitab-kitabnya. Ada delapan kitab syarh Hadits yang diriwatkan Imam Bukhari.
1.      A’lam As Sunan
    Merupakan syarh (penjelasan) Shahih Bukhari pertama, yang ditulias oleh Imam al Khitabi(388 H), seorang ulama Hadits dan Fikih yang berasal dari Kabul, Afganistan.
    Manuskrip (tulisan tangan) kitab ini, terdiri dari dua jilid, dengan jumlah 1500 halaman. Di samping dikenal dengan nama A’lam as Sunan, ada juga yang menyebut kitab ini dengan Tafsir Ahadits al Jami’ as Shahih li al Bukhari.
    Seorang sarjana muslim, Dr.Yusuf al Kattani, telah melakukan tahqiq (studi manuskrip) terhadap karya ini. Karena tidak termasuk karya langka, beliau bisa mendapatkan manuskrip A’lam as Sunan atas bantuan beberapa ulama Afganistan.
    Manuskrip lain juga ditemukan di perpustakaan Rabat Maroko no.1180, juga di beberapa perpustakaan di Istanbul Turki. Dar Ibnu Hazm Beirut menggabungkan kitab ini dengan Sunan Abu Dawud, yang dicetak pada tahun 1997
2.      Syarh Ibnu Batthal
    Tidak ada nama khusus bagi syarh ini. Oleh karena itu, popular dengan nama Syarah Shahih al Bukhari li Ibni Batthal.
    Abu Tamin Yasin bin Ibrahim, muqaqiq kitab ini, menyebutkan bahwa Syarh Ibnu Batthal termasuk syarah Shahih al Bukhari awal, karena diketahui bahwa Ibnu Batthal sendiri wafat pada  449 H.
    Ibnu Batthal juga menukil pendapat dari para ulama yang jarang dinukil, seperti Ibnu Jarir at Thabari, Ibnu al Mundzir, Ismail bin Ishak, dan Ibnu Al Qishar
    Beliau juga menyebutkan atsardari para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan ayat dan Haditsdalam Shaih al Bukhari, juga menyebutkan pendapat para salaf dalam masalah khilaf, serta menyebutkan pendapat yang beliau rajihkan
3.      Kawakib Ad Durari
    Kitab ini ditulis oleh Imam Karmani (789 H). Beliau memperolah nama kitab ini setelah melakukan tawaf di Baitullah. Beliau menulis kitab ini karena merasa bahwa saat itu belum adayang menulis syarh Shahih Al Bukhari yang lengkap, sebagaimana yang telah beliau katakan dalam mukadimah kitab.
    Kawakib ad Durari adalah kitab yang paling banyak dirujuk oleh Ibnu Hajar dalam Fathul al Bari serta Badruddin al Aini dalam Umdah al Qari. Ibnu Hajar rmengatakan bahwa Kawatib ad Durari adalah Syarah Shahih Bukhari yang amat bermanfaat.
    Kitab ini tergolong cukup besar. Terdiri dari 25 juz, yang telah dijadikan menjadi tujuh jilid oleh penerbit Mesir, Tab’ah al Mishriyah.
    Seperti beberapa kitab syarh yang lain, Kawakib ad Durari menjelaskan judul; para periwayat serta makna dari matan (isi periwayatan) Hadist, masalah fikih sertaserta permasalahan fur’. Di samping memuji buku ini, Ibnu Hajar juga mengkritik, Imam Karmani yang hanya menukil dari bukubukan dari para ulamadan guru
4.      Fathu Al Bari
    Ditulis oleh Hafidz Ibnu Hajaral Atsqalani (852H). Tenggat waktu penulisan mukadimahnya yang bernama Hadyu as Sari telah memakan waktu lima tahun dan beliau membutuhkan waktu 25 tahun untuk menyelesaikan seluruhnya.
    Kitab ini mendapat kritikan dari Badruddin al Aini, muhadits yang hidup semasa dengan Ibnu Hajar. Kritikan itu ditulis al’Ainidalam Umdah al Qari, yang juga merupakan salah satudari kitab-kitab yang mensyarh Sahih al Bukhari. Tapi kritikan itu telah dijawab oleh Ibnu Hajar dalam karya beliau al Istinshaf ‘Ala ‘Atha’in al ‘Aini.
    Fathu al Bari adalah syarh Shahih al Bukhari yang paling banyak dikenal dan dirujuk oleh para penuntut ilmu keislaman hingga saat ini. Maka tidaklah mengherankan jika kitab itu dijuluki sebagai “Qomus as Sunnah” alias kamusnya Sunnah. Dalam Fathu al Bari, Ibnu Hajar di samping menjelaskan makna-makna dalam Hadits, beliau juga beliau juga menjelaskan makna bab, asbab al wurud, kesimpulan hukum dari Hadits tersebut, serta khilaf para ulama dari masalah hukum yang berhubungan dengan Hadits.
5.      Umdah Al Qari
    Ditulis oleh Badru ad Dien al Aini (855H), seorang ulama Madzhab Hanafi yang memiliki hubungan amat dekat dengan Ibnu Hajaral Atsqalani. Dalam Umdah al Qari, al Aini mengkritik Fathu al Bari. Beliau juga lebih mengutamakan Umdah al Qari, disbanding dengan syarh Bukhari sebelumnya.
    Dalam Umdah al Qari, al Aini juga mengkritik khutbah Ibnu Hajar dalam  mukadimah Fathu al Bari, dan hal itu telah dijawab beliau dalam Intiqadhul I’tiradh, yang belum sempat beliau sempurnakan ,karena meninggal. Akan tetapi para ulama menilai bahwa jawaban Ibnu Hajar terhadap kritikan itu amat kuat.
    Secara fisik, kitab ini lebih besar dan tebal , jika dibanding dengan Fathu al Bari. Walau begitu, beberapa kalangan menilai bahwa Umdah al Qari jugabanyak merujukdari Fathu al Bari. Oleh sebab itu, Syeik Zahid al Kautsari, ulama Daulah Utsmaniyah yang bermadzhab Hanafi, berpendapat bahwa Umdah al Qari lebih lengkap dari Fathu al Bari
6.      At Tausyih Ala Al Jami’ As Shahih
    Adalah syarh Shahih al Bukhari yang ditulis oleh Imam as Suyuthi (911 H), salah seorang hafidz Hadits di era akhir, yang juga menjadi salah satu murid Ibnu Hajar al Atsqalani.
    Dalam kitab ini, Imam as Suyuthi menjelaskan kata-kata sulit dan asing dalam Hadits Shahih Bukhari, serta menjelaskan perdaan riwayat Bukhari, serta tambahan riwayat yang berada diluar periwayatan Imam Bukhari
7.      Irsyad As Sari
    Merupakan ringkasan atas Fathu al Bari dan Umdah al Qari. Ditulis oleh al Qasthalani, ulama madzhab Syafi’i yang wafat pada 923 H.
    Irsyad as Sari merupakan rujukan dalam bidang fikih Hadits, dimana penulisnya menjelaskan sanad (jalur periwayatan) dan matan (isi periwayatan) Termasuk penjelasan akan kosakata, serta hokum yang bisa di ambil dari Hadits yang merujuk kepada pendapat ulama dan ahli fikih (fuqaha).
    Sebagian syarh yang lain, Irsyad as Sari termasuk karya yang amat tebal. Dar al Kutub al Ilmiyah menvetaknya menjadi 15 jilid, dengan jumlah halaman sebanyak 8448. Namun ada juga penerbit yang menyertakan Syarh Shahih Muslim dalam hamish (catatan kaki) Irsyad As Sari

8.      Faidhu Al Bari
    Ditulis oleh Anwar Syah al Kashmiri, muhadits India (1352 H), yang sekaligus guru dari mufti Pakistan, Muhammad Syafi’
    Beliau memiliki kemampuan yang cukup dalam men-syarh Shahih al Bukhari, karena sebelumnya beliau sudah mempelajari dengan detail tentang kitab Shahih al Bukhari tidak kurang dari 13 kali. Disamping itu, beliau juga telah mempelajari seksama syarh Shahih al Bukhari yang telah dituliskan sebelumnya yaitu; Fathu al Bari, Umdah al Qari serta Irsyadu As Sari, juga Syarh selainnya yang mencapai sekitar 30 judul kitab.
    Syaik Abdul Fattah Abu Guddah menyebutkan , karena penguasaan beliau terhadap Fathu Al Bari dan Umdah Al Qari, maka kedua kitab itu seakan-akan sudah berada diluar kepala. Dan beliau telah mengajarkan Faidhu al Bari lebih dari 20 kali.

   

Minggu, 05 Maret 2017

MENAHAN MARAH DAN MENUAI HIKMAH

Rasulullah salallahu alaihi wasalam (SAW) memiliki hutang pada seorang  Badui, saat tiba waktunya melunasi, Badui yang belum berIslam itu menemui beliau dan menagihnya dengan paksa. Melihat sikap Badui yang kasar itu, para sahabat marah, “Celaka engkau. Apakah engkau tahu dengan siapa engkau berhadapan.

         Namun orang Badui itu bersikeras, “Aku hanya menuntut hakku!”

         Rasulullah SAW meredam emosi para sahabat dan berkata kepada mereka, “Kalian seharusnya berada dipihak yang benar.” Beliau kemudian memohon kepada Khaulah binti Qais agar meminjamkan beberapa butir kurma. Khaulah memberikannya dan Rasulullah SAW melunasi hutangnya kepada orang Badui itu setelah terlebih dahulu mengajaknya makan.

         Orang Badui itu berkata, “Engkau telah melunasi hutangmu. Semoga tuhan memenuhi hakmu!”

         Rasulullah SAW berkomentar, “Orang yang memenuhi hak (orang lain) adalah manusia terbaik. Celakalah suatu kaum yang individu-individunya tiadak memenuhi hak-hak orang lemah.”

         Orang Badui itu berkata,” Wahai Rasulullah SAW, aku belum pernah menyaksikan pribadi yang demikian jujur (seperti pribadimu)!”

         Dikisahkan, setelah menyaksikan keagungan ahlak Rasulullah SAW, orang Badui itu memeluk Islam.
         Demikian kisah dari Abu Sa’id Alkhudri.

Sikap Marah
         Sikap marah yang tidak terkendali menandakan ego yang masih dominan. Kalau tidak waspada, ego yang meluap bisa membuat orang gelap mata. Tak peduli lagi posisi hak orang lain, yang dilihat kepentingan diri sendiri.

         Kemarahan membuat seseorang tak bisa lagi berpikir jernih. Intelektualnya tertutupi emosinya. Meski sudah bergelar sarjana atau memiliki kedudukan tinggi sebagai wakil rakyat, misalnya, kalau sudah terbakar marah, omongan dan tindakannya tak terarah lagi. Tidak malu lagi adu jotos di depan umum.

         Kemarahan juga bisa mengemuka dalam bentuk yang lain, yaitu tersulutnya fanatisme golongan. Pada kasus diatas, bila saja Rasulullah SAW tidak bijak menyikapi perilaku si Badui yang tersulut amarah, bisa jadi para sahabat pun akan terpancing marah membabi buta membela pemimpinnya. Tak lagi peduli benar atau salah.

         Kadang seseorang bisa mengobarkan kemarahan massa atas nama kepentingan rakyat. Padahal sebenarnya bukan urusan  rakyat yang terancam melainkan kepentingan pribadinya.  Bentrok antar pendukung di Pilkada, misalnya, sering terjadi karena ego yang sudah tak terkendali.

         Nah, ada baiknya sejenak kita merenung pesan Rasulullah Saw berikut ini. Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, kemudian berkata: “Ya Rasulullah, berilah saya perintah untuk mengerjakan suatu amalan yang baik, tetapi saya harap yang sedikit saja.”

         Beliau lalu bersabda, “Jangan marah”
         Orang ini meminta supaya di ulangi, barangkali ada lanjutannya. Tetapi beliau menyuruh satu macam itu saja, yaitu: “Jangan marah” (Riwayat Bukhari).

         Kalau memang harus marah karena masalah prinsip, lakukanlah. Rasulullah SAW juga marah bila masalah prinsip ajaran Islam dilecehkan. Tetapi beliau tetap terkendali sehingga dapat menyampaikan pesan dan efektif.

         Pada kasus orang Badui diatas, Rasulullah SAW  mencegah para sahabat bersikap reaktif. Bayangkan kalau hal itu terlanjur terjadi, rasanya kesadaran dirinya akan semakin tertutup.

         Sikap kasar tidak bisa dilawan dengan kasar. Rasulullah SAW memberi teladan dengan membalas sikap kasar Badui dengan sikap kasih sayang. Beliau penuhi haknya dengan segera meski ia orang lemah. Bahkan beliau mengajaknya makan.

         Benarla, si Badui tidak lagi marah-marah setelah Rasulullah SAW bersikap bijak.  Saat sikap kasar itu direspon dengan cara yang baik, maka keadaan yang sempit jadi lapang.

         Hati yang semula sempit pada akhirnya tercerahkan. Dari dirinya muncul pengakuan jujur, “Wahai Rasulullah SAW aku belum pernah menyaksikan pribadi yang demikian jujur (seperti pribadimu)!”

         Bahkan kesadarannya terbuka sehingga ia Berislam. Dengan akhlakul karimah, sering kali orang-orang yang memusuhi beliau justru berubah tercerahkan menjadi para sahabatnya yang setia.

Pengendalian Emosi
     Meski pada kenyataanya mengendalikan emosi sangat penting, belum banyak orang yang mau bersungguh-sungguh melatihnya. Kebanyakan orang lebih mementingkan melatih fisik bagaimana lebih bugar dan kuat, lebih lentur dan licin.

     Aspek fisik maupun intelektual memang harus diasah karena keduanya sangat penting. Bahkan, menurut para ahli, kesuksesan hidup seseorang 88% ditentukan oleh aspek emosi. Jauh lebih menentukan dari aspek intelektual yang menyumbangkan 12% saja.

     Sekalipun jenius, kertidakmampuan seseorang mengendalikan emosi, mengakibatkan kemampuan intelektualnya tak berfungsi optimal. Kalau maunya selalu marah-marah turus, bagaimana pikiran akan berjalan? Hanya dengan emosi yang terkendali, pikiran bisa jernih dan tindakan menjadi terarah. Mereka inilah orang yang kuat dalam arti sebenarnya.

     “Siapakah yang kamu anggap sebagai orang yang kuat bergulat?” Tanya Rasulullah SAW. Kita (para sahabat) menjawab: “Yaitu orang yang tidak dikalahkan oleh orang lain dalam pergulatannya. “Beliau kemudian bersabda lagi, “Bukan itu. Yang disebut orang yang kuat bergulat ialah yang dapat menahan hatinya di waktu marah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

   Kita dapat meningkatkan keterampilan mengendalikan emosi dengan menanamkan program ke bawah sadar kita. Caranya, dengan mengimajinasikan secara mental suasana yang memancing kemarahan. Bayangkan sambil memejamkan mata bagaimana seorang berlaku kasar kepada anda. Lihat wajahnya dan dengarkan kata-kata kerasnya.

      Rasakan reaksi emosi anda naik. Saat demikian, tata dan format hati dengan berpasrah diri kepada Allah SWT. Sadari bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan. Semua sudah dikehendaki Allah SWT. Dan apa pun sikap serta tindakan kita dinilai oleh-Nya.

        

Bisikan dari hati “Ya Allah… saya pasrah pada Mu… Tolonglah hamba Ya Allah… Jangan serahkan diri ini pada hawa nafsu. Tuntun hamba Ya Allah… Tunjuki jalanmu yang lurus.”

       

     Ulang-ulanglah dengan khusyuk sampai tensi emosi mereda. Saat emosi menurun, bayangkan anda melakukan sifat yang bijak seperti Rasulullah SAW. Gambarkan dalam benak hati bagaimana anda ditolong Allah SWT sehingga mampu bersikap terkendali bahkan merespon kekerasan itu dengan kebaikan. Akhirilah latihan mental di atas dengan rasa syukur. Alhamdulillah…

       Kalau ini dilakukan dengan sepenuh hati, insya Allah latihan mental ini teresap menjadi program baru dibawah sadar kita. Saat mengahadapi suasana memancing emosi, secara mental akan lebih siap bersikap tenang.

        Jika emosi masih bergolak, ambil napas dalam-dalam dan istighfarlah. Astaghfirullahal adzim… ambilah wudhu. Emosi yang panas tentu akan mendingin.

      Saat demikian pikiran akan meihat persoalan lebih jernih. Hati juga bisa merasakan bisikan nurani lebih baik. Dengan keadaan seprti itu sampaikan pesan anda. Kata-kata kita tentu akan lebih terarah dan mengandung hikmah. Tindakan kita juga bisa lebih tepat dan bijak.

         Sungguh tak ada ruginya menahan marah. Di samping berbagai hikmah dan keutamaan di atas, Allah juga memberikan janji yang lebih besar di akhirat kelak.



         “Barang siapa menahan kemarahannya, maka Allah akan menahan siksanya kepada orang itu.” (Riwayat Thabrani dan Baihaqi)