Cari Blog Ini

Minggu, 12 Maret 2017

Cobaan Dalam Rumah Tangga

     Perjalanan rumah tangga tak selamanya mulus-mulus saja. Ada kalanya angin bertiup kencang. Sebagai manusia kita tentu ingin selalu hidup dalam kebahagiaan dan kedamaian. Manusia berencana tapi takdir berbicara lain. Tak jarang badai datang mengguncang rumah tangga yang dengan susah payah kita bangun.

     Berbagai upaya kita coba untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam keluarga. Namun terkadang bertambah keras upaya yang kita lakukan justru permasalahannya bertambah runyam. Perekonomian rumah bertambah parah, anak yang tadinya masih bisa di nasihati malah bertambah sulit dikendalikan. Keadaan ini terkadang membuat emosi tidak stabil. Sehingga dari berbagai macam permasalahan yang melanda, tak sedikit yang menyebabkan keretakan dalam rumah tangga. Bahkan sampai memisahkan keduanya.

     Perceraian suatu kata yang mudah diucapkan tapi sangat pahit dirasakan. Bukan hanya suami istri yang menderita, tapi korban yang sesungguhnya adalah anak-anak. Tidak menutup kemungkinan anak-anak ini banyak mengalami berbagai macam masalah. Baik masalah sosial, perilaku, bahkan kepribadian.

     Karena dampak dari perceraian yang besar ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) menyebutkan perbuatan halal yang dibenci Allah adalah perceraian. Bukan berarti perceraian haram dilakukan, karena dalam kasus tertentu justru perceraian adalah jalan yang harus ditempuh untuk kebaikan keluarga tersebut. Meskipun harus mengorbankan anak-anak, tetapi demi menghindari mudharat yang jauh lebih besar lagi maka jalan perceraian terpaksa ditempuh.

Kisah ‘Aisyah
      Badai pun pernah mengguncang rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (SAW). Sepulang dari menyertai Nabi dalam perang melawan Bani Musthaliq, ‘Aisyah tertinggal rombongan Rasulullah SAW dan pasukan kaum Muslimin karena sesuatu hal. Esok paginya, ‘Aisyah pulang dengan di kawal oleh pemuda bernama Shafwan bin al-Mu’aththal yang tertinggal dibelakang pasukan.

      Rasulullah sempat galau tentang berita ini, apalagi wahyu belum juga turun. Maka beliau meminta pendapat dari sahabatnya, Ali bin Abi Thalib dan ‘Usamah bin Zaid tentang ‘Aisyah. ‘Usamah berpendapat, “Ya Rasulullah, ia keluargaku dan aku hanya mengetahui bahwa ia adalah orang baik-baik.

      Sedangkan Ali berpendapat, “Allah tak akan menyempitkanmu, dan wanita selain ia masih banyak. Tetapi jika anda bertanya kepada wanita (Barirah), niscaya dia akan memberikan yang benar kepada anda.” Rasulullah SAW memanggil Barirah lalu bertanya, “Apakah engkau melihat sesuatu yang meragukan dari ‘Aisyah?” Barirah menjawab, “Demi tuhan yang telah mengutusmu dengan haq, aku tak tahu tentang dia lebih dari pada bahwa dia adalah seorang wanita muda belia yang tertidur ketika menjaga adonan keluarganya, lalu binatang-binatang ternak memakannya.”

      Akhirnya Allah membersihkan nama baik ‘Aisyah. Dengan menurunkan Firman-Nya dalam Surat An-Nur [24] ayat 11-22  sehingga kesucian ‘Aisyah dengan kehormatan keluarga Nabi terselamatkan dan stabilitas Madinah puli seperti sedia kala.

      Dari kisah ini kita bisa mengambil contoh bagi mana seharusnya menghadapi suatu permasalahan  dalam rumah tangga. Ketika fitnah menimpa ‘Aisyah dan sempat mengguncang rumah tangga Rasulullah SAW, sikap yang dilakukan Rasulullah SAW adalah, pertama, tetap tenang dan tidak terpancing emosinya.

      Betapa banyak orang  yang mudah terpancing emosinya, sehingga kehilangan akal sehatnya bila mendengar kabar yang negatif dari pasangannya. Bahkan, ada yang ringan tangan memukul sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

      Kedua, ber-tabayyun (cek dan ricek) mencari tahu akan kebenaran berita yang tersebar, bisa dari orang-orang terdekat sebagaimana Rasulullah SAW menanyakan pada sahabatnya Usamah bin Ali. Atau menanyakan langsung, sebagaimana Rasulullah SAW menanyakan pada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, sampai padaku berita tentang dirimu, jika memang engkau bersih dari berita bohong itu, Allah pasti membersihkanmu, tetapi jika engkau merasa berdosa, maka mohonlah ampun dan bertaubatlah, niscaya Allah menerima taubatnya.”

      Dan ‘Aisyah menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau mendengar berita ini hingga mempengaruhi dirimu dan hamper membenarkannya. Jika aku katakan aku bersih  dan Allah mengetahui bahwa diriku memang bersih dari tuduhan itu, niscaya engkau tidak akan mempercayaiku; dan jika aku mengakuinya, sedangkan Allah mengetahui bahwa diriku bersih, niscaya engkau mempercayainya. Demi Allah sesungguhnya aku; juga engkau tidak menemukan anutan dalam hal ini selain seperti apa yang dikatakan oleh ayah Yusuf:… Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya.” (Yusuf {12}: 18).

      Dengan ber-tabayyun kita bisa menghindarkan diri dari prasangka. Betapa banyak orang menderita karena prasangka, karena prasangkalah berita bohong bisa tersebar. “Janganlah kamu berburuk sangka, karena berburuk sangka itu ialah sedusta-dusta percakapan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

      Ketiga, melibatkan orang ketiga yang dipercaya bisa menyelesaikan masalah.
      “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkan seorang hakim (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi Taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa’ [4]: 35)

      Dengan didatangkan hakim dari pihak suami istri, diharapkan bisa dengan baik menyelesaikan permasalahannya di antara keduanya. Bukankah pria yang bersengketa biasanya didominasi oleh emosi sehingga pernyataan ataupun langkah yang ditempuh tergantung keadaan perasaan. Bila sedang marah, maka ia akan mengambil langkah yang merugikan pasangannya.

      Dengan memahami tujuan dibangunnya sebuah rumah tangga yaitu melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sehingga bila di tengah jalan pernikahan ada hal-hal yang tidak menyenangkan atau ada badai yang menerpa, ada baiknya penyelesaiannya kita kembalikan pada aturan-Nya.

      “Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istrimu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan di jadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar mendapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum [30]: 21)