Cari Blog Ini

Minggu, 05 Maret 2017

MENAHAN MARAH DAN MENUAI HIKMAH

Rasulullah salallahu alaihi wasalam (SAW) memiliki hutang pada seorang  Badui, saat tiba waktunya melunasi, Badui yang belum berIslam itu menemui beliau dan menagihnya dengan paksa. Melihat sikap Badui yang kasar itu, para sahabat marah, “Celaka engkau. Apakah engkau tahu dengan siapa engkau berhadapan.

         Namun orang Badui itu bersikeras, “Aku hanya menuntut hakku!”

         Rasulullah SAW meredam emosi para sahabat dan berkata kepada mereka, “Kalian seharusnya berada dipihak yang benar.” Beliau kemudian memohon kepada Khaulah binti Qais agar meminjamkan beberapa butir kurma. Khaulah memberikannya dan Rasulullah SAW melunasi hutangnya kepada orang Badui itu setelah terlebih dahulu mengajaknya makan.

         Orang Badui itu berkata, “Engkau telah melunasi hutangmu. Semoga tuhan memenuhi hakmu!”

         Rasulullah SAW berkomentar, “Orang yang memenuhi hak (orang lain) adalah manusia terbaik. Celakalah suatu kaum yang individu-individunya tiadak memenuhi hak-hak orang lemah.”

         Orang Badui itu berkata,” Wahai Rasulullah SAW, aku belum pernah menyaksikan pribadi yang demikian jujur (seperti pribadimu)!”

         Dikisahkan, setelah menyaksikan keagungan ahlak Rasulullah SAW, orang Badui itu memeluk Islam.
         Demikian kisah dari Abu Sa’id Alkhudri.

Sikap Marah
         Sikap marah yang tidak terkendali menandakan ego yang masih dominan. Kalau tidak waspada, ego yang meluap bisa membuat orang gelap mata. Tak peduli lagi posisi hak orang lain, yang dilihat kepentingan diri sendiri.

         Kemarahan membuat seseorang tak bisa lagi berpikir jernih. Intelektualnya tertutupi emosinya. Meski sudah bergelar sarjana atau memiliki kedudukan tinggi sebagai wakil rakyat, misalnya, kalau sudah terbakar marah, omongan dan tindakannya tak terarah lagi. Tidak malu lagi adu jotos di depan umum.

         Kemarahan juga bisa mengemuka dalam bentuk yang lain, yaitu tersulutnya fanatisme golongan. Pada kasus diatas, bila saja Rasulullah SAW tidak bijak menyikapi perilaku si Badui yang tersulut amarah, bisa jadi para sahabat pun akan terpancing marah membabi buta membela pemimpinnya. Tak lagi peduli benar atau salah.

         Kadang seseorang bisa mengobarkan kemarahan massa atas nama kepentingan rakyat. Padahal sebenarnya bukan urusan  rakyat yang terancam melainkan kepentingan pribadinya.  Bentrok antar pendukung di Pilkada, misalnya, sering terjadi karena ego yang sudah tak terkendali.

         Nah, ada baiknya sejenak kita merenung pesan Rasulullah Saw berikut ini. Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, kemudian berkata: “Ya Rasulullah, berilah saya perintah untuk mengerjakan suatu amalan yang baik, tetapi saya harap yang sedikit saja.”

         Beliau lalu bersabda, “Jangan marah”
         Orang ini meminta supaya di ulangi, barangkali ada lanjutannya. Tetapi beliau menyuruh satu macam itu saja, yaitu: “Jangan marah” (Riwayat Bukhari).

         Kalau memang harus marah karena masalah prinsip, lakukanlah. Rasulullah SAW juga marah bila masalah prinsip ajaran Islam dilecehkan. Tetapi beliau tetap terkendali sehingga dapat menyampaikan pesan dan efektif.

         Pada kasus orang Badui diatas, Rasulullah SAW  mencegah para sahabat bersikap reaktif. Bayangkan kalau hal itu terlanjur terjadi, rasanya kesadaran dirinya akan semakin tertutup.

         Sikap kasar tidak bisa dilawan dengan kasar. Rasulullah SAW memberi teladan dengan membalas sikap kasar Badui dengan sikap kasih sayang. Beliau penuhi haknya dengan segera meski ia orang lemah. Bahkan beliau mengajaknya makan.

         Benarla, si Badui tidak lagi marah-marah setelah Rasulullah SAW bersikap bijak.  Saat sikap kasar itu direspon dengan cara yang baik, maka keadaan yang sempit jadi lapang.

         Hati yang semula sempit pada akhirnya tercerahkan. Dari dirinya muncul pengakuan jujur, “Wahai Rasulullah SAW aku belum pernah menyaksikan pribadi yang demikian jujur (seperti pribadimu)!”

         Bahkan kesadarannya terbuka sehingga ia Berislam. Dengan akhlakul karimah, sering kali orang-orang yang memusuhi beliau justru berubah tercerahkan menjadi para sahabatnya yang setia.

Pengendalian Emosi
     Meski pada kenyataanya mengendalikan emosi sangat penting, belum banyak orang yang mau bersungguh-sungguh melatihnya. Kebanyakan orang lebih mementingkan melatih fisik bagaimana lebih bugar dan kuat, lebih lentur dan licin.

     Aspek fisik maupun intelektual memang harus diasah karena keduanya sangat penting. Bahkan, menurut para ahli, kesuksesan hidup seseorang 88% ditentukan oleh aspek emosi. Jauh lebih menentukan dari aspek intelektual yang menyumbangkan 12% saja.

     Sekalipun jenius, kertidakmampuan seseorang mengendalikan emosi, mengakibatkan kemampuan intelektualnya tak berfungsi optimal. Kalau maunya selalu marah-marah turus, bagaimana pikiran akan berjalan? Hanya dengan emosi yang terkendali, pikiran bisa jernih dan tindakan menjadi terarah. Mereka inilah orang yang kuat dalam arti sebenarnya.

     “Siapakah yang kamu anggap sebagai orang yang kuat bergulat?” Tanya Rasulullah SAW. Kita (para sahabat) menjawab: “Yaitu orang yang tidak dikalahkan oleh orang lain dalam pergulatannya. “Beliau kemudian bersabda lagi, “Bukan itu. Yang disebut orang yang kuat bergulat ialah yang dapat menahan hatinya di waktu marah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

   Kita dapat meningkatkan keterampilan mengendalikan emosi dengan menanamkan program ke bawah sadar kita. Caranya, dengan mengimajinasikan secara mental suasana yang memancing kemarahan. Bayangkan sambil memejamkan mata bagaimana seorang berlaku kasar kepada anda. Lihat wajahnya dan dengarkan kata-kata kerasnya.

      Rasakan reaksi emosi anda naik. Saat demikian, tata dan format hati dengan berpasrah diri kepada Allah SWT. Sadari bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan. Semua sudah dikehendaki Allah SWT. Dan apa pun sikap serta tindakan kita dinilai oleh-Nya.

        

Bisikan dari hati “Ya Allah… saya pasrah pada Mu… Tolonglah hamba Ya Allah… Jangan serahkan diri ini pada hawa nafsu. Tuntun hamba Ya Allah… Tunjuki jalanmu yang lurus.”

       

     Ulang-ulanglah dengan khusyuk sampai tensi emosi mereda. Saat emosi menurun, bayangkan anda melakukan sifat yang bijak seperti Rasulullah SAW. Gambarkan dalam benak hati bagaimana anda ditolong Allah SWT sehingga mampu bersikap terkendali bahkan merespon kekerasan itu dengan kebaikan. Akhirilah latihan mental di atas dengan rasa syukur. Alhamdulillah…

       Kalau ini dilakukan dengan sepenuh hati, insya Allah latihan mental ini teresap menjadi program baru dibawah sadar kita. Saat mengahadapi suasana memancing emosi, secara mental akan lebih siap bersikap tenang.

        Jika emosi masih bergolak, ambil napas dalam-dalam dan istighfarlah. Astaghfirullahal adzim… ambilah wudhu. Emosi yang panas tentu akan mendingin.

      Saat demikian pikiran akan meihat persoalan lebih jernih. Hati juga bisa merasakan bisikan nurani lebih baik. Dengan keadaan seprti itu sampaikan pesan anda. Kata-kata kita tentu akan lebih terarah dan mengandung hikmah. Tindakan kita juga bisa lebih tepat dan bijak.

         Sungguh tak ada ruginya menahan marah. Di samping berbagai hikmah dan keutamaan di atas, Allah juga memberikan janji yang lebih besar di akhirat kelak.



         “Barang siapa menahan kemarahannya, maka Allah akan menahan siksanya kepada orang itu.” (Riwayat Thabrani dan Baihaqi)