Rasulullah
salallahu alaihi wasalam (SAW) memiliki hutang pada seorang Badui, saat tiba waktunya melunasi, Badui
yang belum berIslam itu menemui beliau dan menagihnya dengan paksa. Melihat sikap
Badui yang kasar itu, para sahabat marah, “Celaka engkau. Apakah engkau tahu
dengan siapa engkau berhadapan.
Namun orang Badui itu bersikeras, “Aku
hanya menuntut hakku!”
Rasulullah SAW meredam emosi para
sahabat dan berkata kepada mereka, “Kalian seharusnya berada dipihak yang benar.”
Beliau kemudian memohon kepada Khaulah binti Qais agar meminjamkan beberapa
butir kurma. Khaulah memberikannya dan Rasulullah SAW melunasi hutangnya kepada
orang Badui itu setelah terlebih dahulu mengajaknya makan.
Orang Badui itu berkata, “Engkau telah
melunasi hutangmu. Semoga tuhan memenuhi hakmu!”
Rasulullah SAW berkomentar, “Orang yang
memenuhi hak (orang lain) adalah manusia terbaik. Celakalah suatu kaum yang
individu-individunya tiadak memenuhi hak-hak orang lemah.”
Orang Badui itu berkata,” Wahai Rasulullah
SAW, aku belum pernah menyaksikan pribadi yang demikian jujur (seperti
pribadimu)!”
Dikisahkan, setelah menyaksikan
keagungan ahlak Rasulullah SAW, orang Badui itu memeluk Islam.
Demikian kisah dari Abu Sa’id Alkhudri.
Sikap Marah
Sikap marah yang tidak terkendali
menandakan ego yang masih dominan. Kalau tidak waspada, ego yang meluap bisa membuat
orang gelap mata. Tak peduli lagi posisi hak orang lain, yang dilihat
kepentingan diri sendiri.
Kemarahan membuat seseorang tak bisa lagi
berpikir jernih. Intelektualnya tertutupi emosinya. Meski sudah bergelar sarjana
atau memiliki kedudukan tinggi sebagai wakil rakyat, misalnya, kalau sudah
terbakar marah, omongan dan tindakannya tak terarah lagi. Tidak malu lagi adu
jotos di depan umum.
Kemarahan juga bisa mengemuka dalam
bentuk yang lain, yaitu tersulutnya fanatisme golongan. Pada kasus diatas, bila
saja Rasulullah SAW tidak bijak menyikapi perilaku si Badui yang tersulut
amarah, bisa jadi para sahabat pun akan terpancing marah membabi buta membela
pemimpinnya. Tak lagi peduli benar atau salah.
Kadang seseorang bisa mengobarkan
kemarahan massa atas nama kepentingan rakyat. Padahal sebenarnya bukan
urusan rakyat yang terancam melainkan
kepentingan pribadinya. Bentrok antar
pendukung di Pilkada, misalnya, sering terjadi karena ego yang sudah tak
terkendali.
Nah, ada baiknya sejenak kita merenung
pesan Rasulullah Saw berikut ini. Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada
Rasulullah SAW, kemudian berkata: “Ya Rasulullah, berilah saya perintah untuk
mengerjakan suatu amalan yang baik, tetapi saya harap yang sedikit saja.”
Beliau lalu bersabda, “Jangan marah”
Orang ini meminta supaya di ulangi,
barangkali ada lanjutannya. Tetapi beliau menyuruh satu macam itu saja, yaitu: “Jangan marah” (Riwayat Bukhari).
Kalau memang harus marah karena masalah
prinsip, lakukanlah. Rasulullah SAW juga marah bila masalah prinsip ajaran Islam
dilecehkan. Tetapi beliau tetap terkendali sehingga dapat menyampaikan pesan
dan efektif.
Pada kasus orang Badui diatas,
Rasulullah SAW mencegah para sahabat
bersikap reaktif. Bayangkan kalau hal itu terlanjur terjadi, rasanya kesadaran
dirinya akan semakin tertutup.
Sikap kasar tidak bisa dilawan dengan
kasar. Rasulullah SAW memberi teladan dengan membalas sikap kasar Badui dengan
sikap kasih sayang. Beliau penuhi haknya dengan segera meski ia orang lemah. Bahkan
beliau mengajaknya makan.
Benarla, si Badui tidak lagi
marah-marah setelah Rasulullah SAW bersikap bijak. Saat sikap kasar itu direspon dengan cara
yang baik, maka keadaan yang sempit jadi lapang.
Hati yang semula sempit pada akhirnya
tercerahkan. Dari dirinya muncul pengakuan jujur, “Wahai Rasulullah SAW aku
belum pernah menyaksikan pribadi yang demikian jujur (seperti pribadimu)!”
Bahkan kesadarannya terbuka sehingga ia
Berislam. Dengan akhlakul karimah,
sering kali orang-orang yang memusuhi beliau justru berubah tercerahkan menjadi
para sahabatnya yang setia.
Pengendalian Emosi
Meski
pada kenyataanya mengendalikan emosi sangat penting, belum banyak orang yang
mau bersungguh-sungguh melatihnya. Kebanyakan orang lebih mementingkan melatih
fisik bagaimana lebih bugar dan kuat, lebih lentur dan licin.
Aspek fisik maupun intelektual memang
harus diasah karena keduanya sangat penting. Bahkan, menurut para ahli,
kesuksesan hidup seseorang 88% ditentukan oleh aspek emosi. Jauh lebih
menentukan dari aspek intelektual yang menyumbangkan 12% saja.
Sekalipun jenius, kertidakmampuan
seseorang mengendalikan emosi, mengakibatkan kemampuan intelektualnya tak
berfungsi optimal. Kalau maunya selalu marah-marah turus, bagaimana pikiran
akan berjalan? Hanya dengan emosi yang terkendali, pikiran bisa jernih dan
tindakan menjadi terarah. Mereka inilah orang yang kuat dalam arti sebenarnya.
“Siapakah
yang kamu anggap sebagai orang yang kuat bergulat?” Tanya Rasulullah SAW. Kita
(para sahabat) menjawab: “Yaitu orang yang tidak dikalahkan oleh orang lain dalam
pergulatannya. “Beliau kemudian bersabda lagi, “Bukan itu. Yang disebut orang
yang kuat bergulat ialah yang dapat menahan hatinya di waktu marah.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim).
Kita dapat meningkatkan keterampilan
mengendalikan emosi dengan menanamkan program ke bawah sadar kita. Caranya,
dengan mengimajinasikan secara mental suasana yang memancing kemarahan. Bayangkan
sambil memejamkan mata bagaimana seorang berlaku kasar kepada anda. Lihat wajahnya
dan dengarkan kata-kata kerasnya.
Rasakan reaksi emosi anda naik. Saat demikian,
tata dan format hati dengan berpasrah diri kepada Allah SWT. Sadari bahwa tidak
ada kejadian yang kebetulan. Semua sudah dikehendaki Allah SWT. Dan apa pun
sikap serta tindakan kita dinilai oleh-Nya.

Bisikan dari hati “Ya Allah… saya pasrah pada Mu… Tolonglah hamba Ya Allah… Jangan serahkan diri ini pada hawa nafsu. Tuntun hamba Ya Allah… Tunjuki jalanmu yang lurus.”
Ulang-ulanglah dengan khusyuk sampai tensi emosi mereda. Saat emosi menurun, bayangkan anda melakukan sifat yang bijak seperti Rasulullah SAW. Gambarkan dalam benak hati bagaimana anda ditolong Allah SWT sehingga mampu bersikap terkendali bahkan merespon kekerasan itu dengan kebaikan. Akhirilah latihan mental di atas dengan rasa syukur. Alhamdulillah…
Kalau ini dilakukan dengan sepenuh
hati, insya Allah latihan mental ini teresap menjadi program baru dibawah sadar
kita. Saat mengahadapi suasana memancing emosi, secara mental akan lebih siap
bersikap tenang.
Jika emosi masih bergolak, ambil napas
dalam-dalam dan istighfarlah. Astaghfirullahal adzim… ambilah wudhu. Emosi
yang panas tentu akan mendingin.
Saat demikian pikiran akan meihat persoalan
lebih jernih. Hati juga bisa merasakan bisikan nurani lebih baik. Dengan keadaan
seprti itu sampaikan pesan anda. Kata-kata kita tentu akan lebih terarah dan
mengandung hikmah. Tindakan kita juga bisa lebih tepat dan bijak.
Sungguh tak ada ruginya menahan marah. Di
samping berbagai hikmah dan keutamaan di atas, Allah juga memberikan janji yang
lebih besar di akhirat kelak.
“Barang
siapa menahan kemarahannya, maka Allah akan menahan siksanya kepada orang itu.”
(Riwayat Thabrani dan Baihaqi)